Friday 29 November 2013

Tentang Lelaki


Menjadi lelaki itu berat.
Aku lihat ayahku begitu lelah karena bekerja keras. Aku yang lelah melihat, bukan beliau yang merasakan. Beliau jarang mengeluh, karena senyum kami semua selalu menguatkan kakinya. Beliau tidak pernah marah, karena doa kami meringankan beban di bahunya. Beliau ayah yang luar biasa sekalipun aku tau menjadi dirinya adalah begitu berat.

Ayahku selalu menuruti kebutuhan ibu. Apapun beliau upayakan agar ibu senang. Agar Ibu tidak mengeluh, agar Ibu bisa tersenyum dan membuatkannya masakan paling enak. Ayahku bilang Ibu tidak ada duanya. Aku bilang, mereka berdua tidak akan ada gantinya. Ayahku itu jagoan, pekerjaannya menyulap ruangan. Hasil sulapannya bisa untuk kami makan berbulan-bulan. Ayah tidak pernah berkata bosan dalam pekerjaannya, sekalipun aku tau yang beliau kerjakan itu berat.

Lantas aku kini bersuami. Aku memiliki lelakiku sendiri seperti Ibu memiliki ayah.
Aku punya lelaki yang kini bekerja untuk menghidupiku. Untuk makan kami berdua, untuk hidup layak dan kebutuhanku terpenuhi.
Lelakiku tidak pernah mengeluh, lelakiku seperti ayah.
Malah cenderung aku sering mengganggu lelakiku bekerja.


Lelakiku kadang tidak mendengarkan, lantas aku bilang lelakiku tidak peka.
Menjadi lelaki itu berat…
Semua kesalahan dilimpahkan padanya.
Semua hal harus ia mengerti.
Semua hal harus terpenuhi.
Semua hal harus dijalani.


Tapi lelakiku, lelaki yang sabar.
Menghadapi istri cerewet dan hobi berdrama.
Menghadapi istri yang gila belanja.
Menghadapi istri yang sering terkena serangan panik daripada banyak bertindak.
Menghadapi istri yang ceroboh.


Menjadi lelaki itu berat.
Menjadi suamiku lebih berat lagi.
Tapi aku tau lelakiku akan selalu ada di sini.
Seperti Ayah yang tidak pernah membiarkan anaknya sepi sendiri.



Source: Chachathaib