Sunday 19 April 2015

APA YANG BISA DILAKUKAN WAKTU?


Jadi, apa?
Apa yang bisa dilakukan oleh waktu? 


---


April 2015. Di sebuah tempat makan di pusat kota. Setelah berbulan-bulan tak jumpa. Sahabat saya, sebut saya Ayla, mahasiswi, berpacaran selama sekian tahun. Sambil meneguk segelas air mineral di genggamannya, ia mulai bercerita tentang rumitnya kisah kasih yang sedang ia jalani.

"...karena gue males kayak gitu mulu. Perasaan tahun ke tahun makin nggak jelas mau dibawa kemana hubungannya".

Dari 45 menit berlalu sejak Ayla mulai berbicara pada saya tentang masalahnya, saya hanya tak henti menghela nafas. Sambil sesekali meneguk segelas lemon tea yang saya pesan.



--



Saya sering tak habis pikir bagaimana bisa seorang lelaki dengan begitu teganya menyakiti perasaan wanita yang katanya ia sayang. Parahnya lagi, dilakukannya tidak hanya satu kali, tapi berkali-kali.

Katanya sayang? Kok disakitin? Kok dibikin nangis terus?

Bukan, bukan saya mau menyalahkan lelaki sepenuhnya atas suatu masalah yang terjadi. Paling tidak, wanita juga ikut menyumbang sebab atas masalah tersebut. Tetapi pointnya adalah kadar pemaklumannya yang kurang.  

Sebagai manusia dewasa, kita nggak akan mungkin terlepas dari berbagai masalah kehidupan. Tak terkecuali dalam percintaan. Masalah itu akan terus dan terus datang silih berganti. Menguji kita akan seberapa tangguh kita dalam memperjuangkan hubungan yang dari awal sudah diniatkan untuk dimulai.

Pemakluman itu sangat penting menurutku. Tanpa adanya pemakluman, sebuah komitmen nggak akan bisa berlanjut lama. Memaklumi bahwa pasangan adalah orang yang 180 derajat berbeda dengan kita; berbeda karakternya, pemikirannya, dan berbeda kebiasaannya.

Beberapa hubungan memang harus "dipaksa" berakhir bukan karena sudah tak cinta, tapi karena keadaan yang memaksa mereka memutuskan demikian. Iya, bisa dibilang, kadar pemakluman yang kurang dalam menghadapi masalah bersama menjadi salah satu pemicu mengapa suatu perselisihan tak kunjung menemukan titik temunya.



---



Mendengarkan cerita sahabat saya tadi lantas membuat saya semakin yakin bahwa; kualitas hubungan memang tidak bisa diukur dari seberapa lama hubungan itu terjalin. Ya, beberapa orang memang berhasil mempertahankan hubungan yang mereka jalin sekian tahun dan mengkakhirinya di pelaminan. Sisanya? Gagal dan memilih mengakhirinya.

Hmm, waktu yang lama bersama tak jarang memang menimbulkan perasaan bosan diantara keduanya. Tapi, kalau hanya alasannya bosan lalu seenaknya juga mengabaikan pasangannya, dewasa nggak tuh? 

Sebegitu hebatnya waktu, sehebat itulah Tuhan membolak-balikan perasaan manusia. Hari itu kami bertemu untuk merayakan anniversary-nya yang ke 5, 6 bulan kemudian kami kembali bertemu untuk mengusap air matanya yang jatuh karena kandasnya cerita yang pernah ia bangun.


Thursday 2 April 2015

Akhirnya Pakai Toga!


Sebetulnya ini latepost banget, tapi nggak apa-apa deh ya tetap di posting, nantinya tulisan ini yang akan menjadi remember saya jika suatu hari ingatan saya sudah mulai memudar. Jadi begini...

Alhamdulillah,
sekarang saya sudah resmi menjadi seorang sarjana. Tepat 7 Maret 2015 lalu, saya diwisuda di Kampus kebanggaan saya.
Cielaah, udah sah pakai title S.I.Kom di belakang nama hehehe.

Benar kata orang, euforia wisuda memang semeriah itu. Apalagi wisuda Strata-1 yang notabene-nya adalah wisuda tersakral bagi seorang mahasiswa, termasuk saya. Karena dengan itu, satu chapter dalam hidup telah berhasil dilewati. Yap, lulus dan menjadi seorang sarjana.

Dengan itu juga, berarti saya akan melewati babak baru berikutnya; mencari kerja. Iya, berkarir adalah satu diantara beberapa pilihan yang akhirnya saya letakkan di urutan nomor satu setelah menjadi sarjana.

Beberapa orang bilang ke saya kalau, "ah, perempuan mah tinggal nunggu dilamar aja, nggak perlu kerja terlalu berat". Kadang agak gimana gitu ya sama yang bilang seperti itu, tapi saya sih biasanya lebih milih senyumin aja, mau ngebahas soal begituan mah jadi panjang ujungnya, bener nggak? Ada yang sependapat? :D

Untuk pertanyaan, setelah wisuda mau apa kayaknya dijawab di postingan selanjutnya aja kali ya...
 
Yang jelas saya bahagia telah menyelesaikan studi saya. Ini semua untuk Ayah dan Ibu yang dengan sabar dan ikhlas memberikan curahan doa, kasih sayang, dukungan, dan materi yang nggak pernah putus. Terimakasih Ayah Ibu. Sehat-sehat terus ya sampai saya bisa buat kalian bangga, sesegera mungkin. Insha Allah. :))




Ayah dan Ibu. :)


 Akhirnya pakai toga!

Banyak yang bilang kalau kita mirip, mirip nggak?


Teman seperjuangan



Segini aja foto-fotonya, kebanyakan udah saya upload ke Instagram @araapratiwi. :) 



Salam,
Ara.

Wednesday 1 April 2015

Menjadi Konsisten itu Sulit, tapi Bisa.


"Berhijab kan proses, suka-suka aku lah mau pakai terus atau nggak".
"Mau pakai atau nggak itu kan urusan aku, bukan urusanmu".

 
Jujur saja, belakangan ini saya makin prihatin kalau membaca atau mendengar langsung ada yang berkata demikian. Memang benar, berhijab itu sebuah proses, proses yang tidak sebentar. Tapi, alangkah baiknya tiap proses menuju kebaikan itu tidak diiringi dengan proses mendekati yang tidak baik lagi juga, kan?

Begini, saya pun masih jauh dari kata sempurna dalam berhijab. Tapi sejak saya memutuskan berhijab, Agustus 2013, saya juga punya prinsip; untuk tidak lepas-pakai lagi. Memang nggak mudah.. apalagi yang tadinya terbiasa memakai pakaian lengan pendek atau bahkan yang tanpa lengan tiap hari, lalu tiba-tiba harus menutup aurat hampir seluruh bagian tubuh.

Berhijab itu sebuah proses panjang dan saya setuju. Kenapa harus berproses? Karena bertransformasi menjadi lebih baik itu perlu waktu, pelan-pelan, namun pasti. Banyak yang bilang kan kalau "berhijab aja dulu, nanti hati dan perilakunya pasti ngikutin", yap, itu juga nggak salah.

Yang saya tidak sependapat adalah, ketika sudah berniat melangkah maju, tapi masih sering menoleh ke belakang.





Sedikit cerita tentang pengalaman saya memakai hijab, di awal-awal saya juga masih sering menggunakan baju ketat, transparan, atau yang berlengan 3/4. Saya tahu betul itu jauh dari kata sempurna. Tapi saya coba pelan-pelan menyamankan diri dengan 'aksesoris baru' yang saya pakai itu. Tetep lanjut walaupun suka kegerahan kalau cuaca sedang panas-panasnya. :)

(FYI aja, buat pemula, nggak perlu sampai tahap mencintai dulu deh, menyamankan diri aja dulu. Itu jauh lebih sulit sih.)

Dan... it's work, kok. Lama kelamaan saya menjadi nyaman dengan hijab yang menempel di kepala saya tiap hari. Udah nggak lagi ngerasa gerah berlebih ketika panas, gatel-gatel, risih dan sebagainya. Malah makin pede aja gitu makainya. Alhamdulillah. :))

Okay, balik lagi soal keprihatinan saya tadi.. Makin kesini makin sering lihat orang -termasuk beberapa teman dan saudara, yang masih suka lepas-pakai hijab seenaknya. Dan yang bikin makin sedih itu, mereka justru meng-upload foto tak berhijabnya di social media. Jadi sebetulnya saya yang kelewat kolot atau mereka yang kelewat nggak menghargai sebuah proses ya? 

Mau negur segan, nggak negur kok ya nggak sadar-sadar. Bikin gemes sendiri ya kan. Iya, saya termasuk orang yang kolot soal hijab. Pakai ya pakai, nggak ya nggak! Sesimpel itu sih pilihan menurut saya. Nah, yang nggak sesimpel itu soal konsistensinya. Konsisten buat terus siap menjalani panjangnya sebuah proses, apapun keadannya. 

Bagi saya, dan pasti banyak yang setuju juga kan, kalau untuk mendapatkan suatu tujuan, konsisten itu sebenar-benarnya kunci keberhasilan. Masih mau minta hadiah surga sama Allah kalau kitanya aja nggak ada usaha sama sekali? Nggak malu udah dikasih hidup, rejeki, dan rizki yang terus-menerus sama Allah? :)

Untuk terus konsisten memang sulit, saya paham kok. Belum lagi di saat awal-awal berhijab banyak godaan di depan mata; seperti model baju lengan pendek yang makin lucu-lucu, tawaran kerja yang syaratnya harus nggak berhijab, dan masih banyak lagi. Tapi saya cuma yakin aja sih waktu itu, kalau konsisten, Allah juga akan menggantinya dengan hal yang jauh lebih baik. :))

Dan benar saja, sedikit banyak hijab itu kini jadi semacam filter di hidup saya. Mendekatkan saya dengan banyak orang-orang baik, dan menjauhkan saya dari hal-hal yang memang tidak sepantasnya saya dekati. Kalau ada yang nggak sepaham sama tulisan saya, saya minta maaf ya. Saya bukan mau sok paling benar apalagi menggurui, ini cuma perkara pemikiran aja. Diterima apa nggak ya balik lagi ke prinsip masing-masing. :))






Jadi, masih mau mikir berapa kali lagi untuk mulai konsisten? :)


Salam,
Ara.