Wednesday 30 March 2016

DIA


Dia yang tak terganggu dengan penampilan saya. Dia hampir jarang berkomentar mengenai pilihan baju yang saya kenakan. Atau warna lipstik yang saya pakai. Dia tidak pernah protes mengenai hobi menulis saya. Ia menganggap puluhan tulisan di blog saya adalah sebagai penyaluran hobi. Bukan untuk mencari perhatian atau sebagai budak internet.

Ia mengerti bahwa hidupnya harus sedikit banyak terkespos karena saya senang menulis tentang dirinya di blog ini. Ia selalu bertanya kapan saya akan menulis lagi. Untuk pertama kalinya saya merasa hebat hanya karena kemampuan saya menulis. Seumur hidup saya menganggap diri saya bodoh karena lemah di akademis ilmu pasti, saya tidak pandai matematika, saya tidak bisa fisika.

Dua puluh tahun lebih saya berada dalam pikiran bahwa saya tidak pintar, hingga ia datang dan menyadarkan bahwa manusia memiliki keperkasaannya masing-masing, dan cara saya merangkai aksara adalah kemampuan yang bisa disandingkan dengan kemampuan dirinya mengerjakan soal matematika. Ia bukan sekedar menjadi pengikut, tapi ia berusaha menikmati apa yang saya senangi. Ia temani saya menulis, ia membaca hasil karya saya.

Dia bisa mengikuti ritme hidup saya yang berubah-ubah. Ada masanya saya senang sekali pergi dari mall ke mall untuk mencari hiburan, lalu seketika saya bosan dan hanya ingin di rumah saja berminggu-minggu. Keberadaannya membuat saya menikmati setiap waktu,
Dia yang menerima kurang saya, dia yang tak pernah lelah akan mau saya, dia yang selalu ada ketika saya jatuh dan hampir terluka.

Dia yang berusaha menyeimbangkan langkah saya, walau terkadang mundur beberapa langkah untuk berlari lebih jauh. Dia yang menanggapi setiap ide saya, dia yang mendengarkan setiap pengetahuan yang baru saya tahu.

Dia yang merentangkan kembali sayap saya yang telah patah karena sempat tak percaya cinta, dia yang membangunkan saya bahwa hidup itu jauh lebih indah dari mimpi.