Thursday 27 February 2014

Jika

Hari Ke-27

Kepada kamu,
surat ini masih tentang kamu, hey, si (calon) bangku kanan.
Jika suatu hari nanti, kulitku tak lagi kencang, mataku menjadi sayu dan memburam,
masihkah kamu tetap bersamaku?

Jika suatu hari nanti, nanti ingatanku memudar, aku tak lagi dapat mengingat cerita indah kita,
bersediakah kamu untuk sabar menceritakan semua untukku?

Jika suatu hari nanti, tanganku tak lagi kuat untuk memeluk dan terlalu lemah untuk berdiri,
maukah kamu tetap menuntunku?

Jika suatu hari nanti, rambutku mulai memutih dan aku mulai mengeluhkan sendiku yang sakit,
masihkah kamu tetap tinggal untuk membantuku?

Jika suatu hari nanti, aku tak dapat lagi menyanyikan lagu yang biasa kita nyanyikan saat muda,
tak bosankah kamu untuk menyanyikannya kembali buatku?

Jika suatu hari nanti, aku tak bisa lagi memanjakan lidahmu dengan masakanku,
apakah aku masih menjadi tempatmu kembali pulang?

Jika suatu hari nanti, syarafku sudah tak memungkinkan untukku berdandan,
apakah kamu tetap selalu berkata bahwa aku masih cantik setiap hari?

Jika suatu hari nanti, aku harus mulai menggunakan alat bantu untuk berjalan,
apakah senyumanmu masih tetap sama ketika aku masih memakai sepatu flat shoes kesayanganku?

Jika suatu hari nanti, tulangku mulai melemah dan aku mulai susah melangkah,
apakah tanganmu masih menggenggam erat tanganku seperti saat aku menggunakan high heels saat menuruni tangga?

JIka suatu hari nanti, ingatanku memudar dan mulai kebingungan mencari barang,
akankah kamu tetap sabar sama seperti saat kamu mengingatkanku selalu membawa cukup bekal ketika aku akan bepergian?
Jika suatu hari nanti, separuh memoriku mulai hilang karena penuaan, dan aku mulai sering marah-marah karena lelah akan keadaanku,
disitukah kamu untuk tetap sabar menghadapiku persis sama seperti kala aku sedang terkena mood swing PMS?

Jika suatu hari nanti, aku menyerah dengan keadaanku dan memintamu untuk pergi meninggalkanku,
masihkah ada kamu dengan segenap janji yang kamu ucapkan saat muda,
bahwa kamu akan selalu ada?

Wednesday 26 February 2014

Kilometer

Hari Ke-26

Kepada kamu,
yang kucintai dari jauh.

Sayang, sebenarnya tak sengaja kutulis surat ini. Ketika menunggu dering ponselku dan berharap itu kamu. Berulang kali kulirik putaran waktu, berharap kau sudah tiba di rumahku. Namun nampaknya harus kukubur dalam-dalam keinginanku akan sosokmu di sini. Ada puluhan kilometer yang menjeda di antara kita.

Sayang, selalu ku coba memberimu ruang sendiri. Berbagi dengan duniamu yang tak kukenali. Eh, ralat. Bukan 'tak', melainkan 'belum'. Mungkin suatu waktu nanti, kau akan membawaku dengan perasaan bangga ke dalam duniamu yang belum kutau itu.

Sayang, satu jam lalu sengaja kukirim pesan singkat ke nomor ponselmu. Menggantung. Diam. Tertunda. Kuurungkan untuk mengirim pesan kedua, pun ketiga. Sengaja kuberi kau ruang di luar sana. Aku masih diam, dalam risau yang coba kupendam. 

Sayang, sebenarnya aku hanya tak ingin mengganggu waktumu. Ketika kau berjibaku dengan sekelumit aktivitasmu. Meski sering kau bilang tak terganggu dan bisa kurasakan tulusnya setiap perhatian yang kau lontarkan. Perasaanku saja yang kadang bersikukuh dengan pendapatku.

Sayang, kurasa kau pun telah terbiasa tanpa aku di sana. Bukan karena aku tak mau menemanimu. Semua karena keadaan.. keadaan yang mana memaksa kita berada tidak di tempat yang sama. Mungkin sekarang, akan lebih baik bila tanpa aku yang menemani setiap gerik yang kau lakukan. Tapi sungguh, di sini pikiranku tak lepas darimu.

Sayang, ketika kau terima surat ini, mungkin hari sudah berganti. Mungkin aku sudah tersenyum kembali. Kau tau, tidak? Tiap pesan yang kau kirim itu selalu pandai membuatku menyimpulkan senyum setiap hari. Kau selalu punya cara membuat wajahku ceria, secerah jingga di timur cakrawala.


kuteringat dalam lamunan,
rasa sentuhan jemari tanganmu
kuteringat walau t'lah pudar
suara tawamu, sungguh kurindu

tanpamu, langit tak berbintang
tanpamu, hampa yang kurasa
seandainya jarak tiada berarti
akan kuarungi ruang dan waktu
dalam sekejap saja
seandainya sang waktu dapat mengerti
takkan ada rindu yang trus menggangu
kau akan kembali bersamaku..

terbit dan tenggelamnya mentari
membawamu lebih dekat
denganmu, langitku berbintang
denganmu, sempurna kurasa..
(LDR - Raisa)



Untuk Aa:
LDR itu penuh kenangan. Karena kamu akan merindukan setiap jengkal yang akan membawamu mendekatinya. :)

Tuesday 25 February 2014

Hallo, Mega!

Hari Ke-25

Selamat petang,
Mega tersayang!

Sedari pagi kuleburkan diriku dengan pekerjaan yang lumayan membutuhkan relaksasi isi kepala. Beberapa senandung sendu Raisa pun tak cukup meringankan beban kepalaku. Entah, rasa lelah ini belum mau enyah begitu saja dari sepertinya.

Kebetulan hari ini adalah tema surat untuk salah satu peserta. Tak perlu waktu lama untukku memutar otak untuk siapa surat ke-25 ini kelak kutujukan. Lalu, ingatan ini membawaku ke arahmu, memberikan jawaban sederhana; namamu berputar dalam kepala. Benar saja. Aku menulis surat ini untukmu, setelah 24 hari sosokmu terlewatkan dalam list orang yang akan kukirimi surat.

Mega. Lelah juga ternyata terus-terusan menulis berdasarkan dan diperuntukkan untuk hal yang tabu. Hal yang tak bisa aku gapai. Hal yang bahkan aku sendiri belum pernah merasakannya. Maka dari itu, setidaknya, aku butuh satu figur nyata untuk aku tuliskan. Seperti dirimu.

Mega. Sudah lama kita tak berbincang, ya. Pun sekedar bertukar pandangan, tentang apa saja; hobby, travelling, fashion, ceritaku, ceritamu, apa saja. Lama rasanya kita tak berkicau tentang ini dan itu. Cukup lama, satu bulan? Dua bulan? Ah, sudah berbulan-bulan rasanya, ya. Tanpa sadar kita tenggelam dalam kesibukan tanpa padam hingga mengantarkan lelah pada malam yang merangkak larut. Syukurnya, aku tak menemukan jeda di antara kita.

Ah, ya, bagaimana kabar tugas akhirmu? Sudah berapa bab yang terlahir dari pemikiran dan ketikan jemari lincahmu? Aku tak sabar mendengar kabar bahagiamu. Pasti akan menjadi kabar bahagia pula untukku. Do'akan ya, agar aku cepat menyusulmu, merampungkan kewajibanku sebagai seorang anak; mempersembahkan gelar kebanggaan untuk kedua orangtua tercinta.

Mega. Coba diingat.. kalau tidak salah, seharusnya tahun ini tahun kelima kita bersahabat. Namun rupanya semesta baru berbaik hati mempertemukan kita beberapa bulan belakangan. Ah, ya sudahlah, yang penting sekarang kita sahabat. Aku sedang membayangkan cara kita berbincang saat kita bertemu di waktu depan. Akankah menjadi perbincangan semalam suntuk dan seharian? Akankah kekalnya mengalahkan perbincangan malam dengan sang bulan? Akankah perbicangan kita menyerupai jumlah dedaunan yang luruh di musim gugur? Akankah seriuh suara deburan ombak di laut lepas? Entahlah, yang pasti itu adalah satu saat yang paling kutunggu.

Mega. Maafkan kalau suratku ini terlalu lugas. Di depanku, rentetan gagasan merengek minta dituntaskan. Senja pelan-pelan lingsir ke belahan langit barat. Hari ini aku hanya ingin cepat beristirahat. Maka, biarkan aku merampungkan mereka sebelum matahari tenggelam. Setelah kau baca surat ini, mari lanjutkan perbincangan kita di ruang lainnya. Sampai jumpa, Mega! 



Salam rindu,
aku yang tak sabar berbincang banyak hal padamu.

Monday 24 February 2014

Bakti itu Harga Mati


"Aku ini sudah dewasa, Bapak Ibu tidak perlu lagi mencampuri urusanku" 

Kita, terkadang lupa bahwa.. 
Seorang anak tidak akan mampu menutup mata dan telinga dari nasehat dan bimbingan orang tua. Sampai kapanpun. Tentang apapun. 

Posisikan orang tua diatas kita, agar saat kita melihat keatas, kita melihat bintang, muncul rasa ingin meraihnya utk mereka. 
Posisikan mereka diarah pandangan kita saat menunduk, agar kita ingat, dalam tunduk pilu, ada mereka disana dengan doa dan kasihnya.Posisikan mereka didepan mata kita, agar kita tahu ada mereka yg slalu membimbing kita.

Posisikan mereka dibelakang kita, agar kita tahu ada mereka yg slalu mendukung kita.

Posisikan mereka disamping kita, agar kita tahu mereka slalu mendampingi kita.

Posisikan mereka dihati kita, agar kita selalu ingat bahwa kita harus selalu berbakti kepada mereka, orang yang doa dan restunya bisa membuka pintu langit dimana mungkin doa dan harapan kita tertahan disana. 



---


"Lalu, bagaimana dengan orangtua yang tidak bersikap baik terhadap anaknya?"


Bagaimana mereka memperlakukan anaknya, itu tanggung jawab mereka terhadap Tuhan. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Tapi sebagai anak, sudah seharusnya tetap bersikap baik. Tidak berbicara seolah mereka tidak berarti lagi untuk kita, contohnya. Serta, yang tidak boleh terlupa; doa. Itulah wujud tanda bakti.

Sunday 23 February 2014

Hey Girl!

Hari Ke-24

Hey girl,
tolong baca surat ini dengan future tense.
 
Selamat malam!
Ketika kau baca surat ini, pastikan dulu bahwa lampu di seluruh ruangan rumah telah padam, kecuali lampu kecil yang menghiasi sisi ranjang. Kemudian, pastikan juga bahwa sembilan puluh persen hari-harimu nyala oleh senyuman.

Sekarang, coba pandangi sejenak seorang lelaki yang begitu bahagia menghabiskan hari-harinya denganmu, yang sedang terlelap dengan dengkur halus di sisimu. Lelaki yang selalu mengimami lima waktu-mu, serta sholat-sholat malammu. Lelaki yang begitu kau rindukan kalam-kalamnya ketika kau sholat tanpa imam. Lelaki yang menjadi teman tilawah Al-Qur'an selepas sholat malam. Lelaki dengan semua kealphaannya, namun tetap harus kau suguhkan sarapan dan makan malam, juga bekal istimewa untuk makan siang. Lelaki yang menjadi tempat untukmu mengabdikan cinta dan hanya denganmu ia bagi seluruh hidupnya. Lelaki yang menjadikanmu pelengkap tulang rusuk baginya, dan yang akan setia menghujanimu dengan kasih sayang yang tulus.

Sekarang, siapkan kalimat-kalimatmu untuk bercerita tentang dongeng indah untuk bidadari dan jagoan keci di kamar samping. Malaikat-malaikat kecil yang memenuhi surga kecilmu dengan selaksa tawa. Malaikat-malaikat kecil yang kau tatar mengeja Hijaiyah setiap selepas Maghrib berjamaah. Malaikat-malaikat kecil yang sedang kau kenalkan dengan aksara dan angka. Malaikat-malaikat kecil yang selalu kau layani tanpa batas cinta. Malaikat-malaikat kecil yang selalu kau manjakan lidahnya dengan masakan istimewa. Malaikat-malaikat kecil yang rajin kau dengdangkan sholawat, surat Yusuf, surat An-nissa di telinganya.

Katakan padaku, bahwa kau sedang mengucap hamdalah tak berkesudahan dengan mata berkaca-kaca dan haru yang luar biasa, bukan? Aku ingat betul, ketika hampir seluruh sisi hidupmu sedang diuji Illahi dan kau nyaris ditenggelamkan oleh keputusasaan. Ketika kau bawa langkahmu dalam pijakan dan arahan yang tak kau inginkan. Menahun kau habiskan hidupmu dengan keluargamu penuh dengan kasih yang hilang menguap. Menahun pula kau habiskan seluruh hidupmu untuk membangun lagi diri dan hidup yang baru. 

Hitunglah air mata yang tumpah, khilaf yang lepas, amarah yang ruah. Ingatlah kemarau panjang yang kau lalui dengan dada luar biasa lapang dan hati yang tangguh. Lihatlah dirimu sekarang degan kebanggaan yang memenuhi diri. Lihatlah betapa tak ada yang bisa kita sebut sia-sia. Lihatlah dan nikmatilah tiap detik dengan hamdalah yang merasuk hingga urat dan sendi terkecil yang kau punya. Aaminku untukmu menjalar seiring dengan lantunan adzan yang berkumandang. Selamat memejam!



Untukku. Dariku.

Cinta Tak Bertuan

Hari Ke-23

Kepada kau,
yang pantas mendapatkan kebahagiaan.

Biarkanlah seluruh sajak yang kutulis ini mati kutu, beku, dan bisu.
penuh luka dan kembali pada masa ketika kau lupa bagaimana caranya tertawa,
mencintai hingga berdarah-darah,
kau tau itu sebuah kebodohan yang mengatasnamakan ketulusan,
bukan kebanggaan yang semestinya layak dipublikasikan,
tapi luka rupanya yang harus cerdik kau sembunyikan dan kau akhiri agar tak melulu kesakitan.

Kawan, tampilkan dirimu menjadi manusia cerdas yang tak pantas untuk disakiti,
oleh apapun dan siapapun, tak melulu soal kekasih,
sejatinya cinta tak sesempit itu cakupannya,
gunakan nalar dan seluruh rasa yang kau punya,
mengenai cinta, luka, dan segala bumbu-bumbunya,
tak perlu kau buat rumit dan membuat kau sakit.

Hidup bukan panggung sandiwara, bukan pula cerita-cerita fiksi
yang bisa kau atur plot dan karakternya,
tapi sebagai manusia, jelas kita berhak memanjatkan doa-doa dan pengharapan baik,
atas kehidupan yang menenangkan dan menyenangkan,
sebab sejatinya, setiap dari kita memiliki hak untuk bahagia,
tanpa mengusik kebahagiaan orang lain tentunya.

Maka, sudahilah, kawan..
Tuhan mencintaimu dengan hal-hal tak terduga yang luar biasa, nanti..
akan datang seseorang itu, bahkan kau sendiripun takkan menyangkanya,
yang akan menyelamatkan kau dari perih yang tak berkesudahan,
yang akan menjadi tuan atas rasamu, dan rumah atas resahmu,
dan akan menjadi sebenar-benarnya tepatmu berlindung..

Saturday 22 February 2014

Kau Harus Bahagia

Hari Ke-22

Assalamu'alaikum, Tuan.
Tolong sampaikan pula salamku untuk kekasihmu yang jelita itu.

Aku rasa tak perlu mengawali surat ini dengan menanyakan kabarmu, sudah pasti kau sedang dikelilingi binar paling bahagia, ya. Entah ini surat ke berapa yang kusebut surat terakhir untukmu; nyatanya selalu gagal. Tapi semoga surat ini menjadi surat yang benar-benar terakhir. 

Bukan tanpa alasan aku menulisnya, kupupuk keberanianku perlahan dan berkali-kali, sebab tak mungkin lagi kusampaikan secara lisan atau kutuliskan dalam surat-surat kecil yang dulu kerapkali kukirimkan. Kutulis surat ini dengan haru dan rindu yang meluap. Bahagia? Entahlah. Hanya Allah yang tau aku turut bahagia atau harus marah. Namun pastinya aku lega luar biasa melihatmu bersanding dengan perempuan yang (Insya Allah) tepat. Pun rupawan sesuai pilihan Tuhan.

Lebih dari ratusan hari yang kita habiskan bukanlah hal sederhana yang mampu dengan mudah kuletakkan. Sekarang, aku hanya menyimpannya baik-baik dalam benam paling dalam. Melipatnya dengan rapi dalam ruang dada sebelah kiri. Aku bukanlah perempuan baik yang terlahir nyaris sempurna. Bukan pula seorang anak yang terlahir dalam keluarga yang utuh bahagianya. Aku tumbuh tanpa empati. Waktu telah menyampaikan segalanya padamu, bukan? Sebab dari awal kau mendekat, kubiarkan semesta membuka semuanya padamu dan aku menjadi apa adanya diriku seperti yang di hadapanmu, dulu. Kusyukuri jalanNya yang menuntun kita beriringan dalam proses semesta.

Terima kasih telah membawaku larut dalam hangat hubungan penuh cinta kasih; yang pernah membuatku bahagia tak kepalang, alasanku tersenyum, tertawa, dan menebar hamdalah tak berkesudahan. Terima kasih atas hidup yang sempat kau bagi dan bersedia sepenuh hati menjadi tempat berbagi. Terima kasih telah sempat memilih untuk tetap tinggal dan meninggalkan mereka yang sempat datang -berdiri di antara kita. Terima kasih telah memberiku banyak hal tak terduga. Kau tau? Darimulah aku mengenal sebaik-baiknya bahagia dan luka. Namun dalam surat ini, aku sengaja tak ingin menuliskan luka. Biarlah segala perih dalam hati masing-masing melebam lalu sembuh dengan sendirinya.

Aku percaya, perpisahan kita dan kebersamaanmu dengannya bukan suatu kebetulan. Ini semua bagian dari kehendakNya, bukan? Keadaan ini salah satu hal besar yang mengajariku bagaimana melapangkan hati dan memupuk ketenangan, meski sukar. Entahlah, terkadang seperti ada kebahagiaan kecil yang tanpa sadar kusesap lamat-lamat; ketika aku menyerahkan segala arah hati hanya kepada pemilikNya, ketika berharap hanya Allah lah hulu dan muara segala rasa bergerak.

Sejak dulu permintaanku pada Tuhan sederhana saja, dengan siapaun engkau nantinya, aku hanya ingin kau bahagia seutuhnya. Teruslah berbahagia dalam warna nan rupa-rupa. Tetaplah berbahagia sebab aku takkan merusak segala yang telah menjadi kehendakNya. Berbahagialah.. dan berjanji untuk terus berbahagia.

Thursday 20 February 2014

Ada Baik di Setiap Ketidakbaikan


"Ah, wanita yang baik untuk lelaki yang itu omong kosong. Aku nggak percaya lagi", keluh ibu muda yang sedang mengandung buah cintanya dengan sang suami.

"Rasanya aku tidak pernah tidak menuruti perkataannya. Aku selalu patuh dengan perintahnya. Aku juga tidak pernah melakukan sesuatu di luar kodratku sebagai wanita. Aku tidak mengenal dunia malam, minuman keras, ataupun hal yang tidak sepantasnya. Tapi kenapa aku mendapatkan suami seperti itu? Mendengar pendapatku pun tidak", lanjut wanita tadi panjang lebar tanpa kuminta.

Aku menghela nafas panjang..
Menawarinya teh hangat sembari mengajakya duduk di kursi ruang tengah, berharap dia sedikit merasa tenang. 

"Cobalah kenali dirimu ini dengan dirimu yang dulu, apa ada yang berbeda?", kataku, mencoba membuka pembicaraan.

Dia termenung lama, bola matanya menerawang ke atas; mengorek memori yang mulai usang.

"Aku lebih taat kepada Tuhan, sepertinya..", katanya dengan nada yang masih terlihat ragu.
"Sejak kapan?"
"Sejak aku dipusingkan dengan sikap suamiku"

Kali ini aku yang terdiam. Sekian detik. Tak cukup lama. Lalu, kulanjutkan ucapanku yang terhenti tadi..

 "Tidakkah kau sadar bahwa suamimu adalah suami yang baik dengan segala kekurangannya?"

Dia terlihat mengernyitkan dahi mendengar jawabanku, yang mungkin menurutnya itu jawaban spontan dan sekenanya saja.

"Kekurangannya menjadikanmu lebih baik dari sebelumnya, bukan?
Pernahkah terbayang jika kamu mempunyai suami tidak seperti suamimu yang sekarang? Pernahkah terbayang jika kamu mempunyai suami yang semua sikapnya sesuai dengan keinginanmu? Mungkin saja, mungkin.. kamu tidak akan setaat seperti sekarang ini, karena kamu terlena oleh terpuasnya semua keinginanmu. Nyatanya, kamu bisa menjadi lebih baik karena ketidakbaikan suamimu".

Iya, begitulah skenario kehidupan yang Tuhan ciptakan..
Tuhan Maha membolak-balikan alur hidup, dibuatnya naskah drama yang terkadang tidak tertebak oleh kita, manusia.
Apa yang menjadikan kita baik, tidak selalu berasal dari hal yang baik pula. Pun, tidak semua hal yang mengecewakan, tidak membawa pelajaran. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik dalam kehidupan ini, dari seburuk apapun peristiwanya. Selalu ada pelajaran berharga dibalik tidak terpenuhinya keinginan yang berujung kekecewaan itu. 


Maknai setiap hal yang terjadi dalam hidup ini; agar kita mengerti, agar kita memahami, agar kita mensyukuri bahwa segala yang baik dan tidak baik yang Tuhan ciptakan tidak pernah ada yang sia-sia.

Bersabarlah

Hari Ke-20

Teruntuk kawan,
yang sedang dirundung pilu hatinya.

Bersabarlah..
lucutilah air mata di lekuk lesung pipimu,
lihatlah, angkasa ikut mengutuk ratapan yang berpesta di pelupuk kota,
acuhkan wangi darah masih menari-nari di udara,
pun rekah dentum susulan di bawah langit senja,

Kemarilah..
tubuhku, sebaris serunai di bibir lautan dukamu,
tidurkanlah segala ketakutanmu,
hanyutkanlah dalam rindu yang menyelisik cinta di celah degupmu,
rebahkan alunan elegi yang memenuhi kepalamu,
dan kan kudendangkanlah seribu lagu manis di telingamu,
pun sebaris doa yang tiada koma dan titiknya,
tiarapkan seluruh ketakutanmu seperti tentara-tentara itu,
dongengkanlah pesona surga pada bocah-bocah tak berdosa di sana,
engkaulah ranum kemboja di pelataran duka,
maka, bersabarlah..
dan terus bersabar..



Ps:
Akan ada hal baik yang dapat dipetik dari seburuk apapun peristiwanya, jadi bersabarlah, kawan.

Tuesday 18 February 2014

Sesederhana Itu

Hari Ke-19

Kepada kamu,

Aku pernah mengagumimu secara sesederhana itu,
seperti embun pagi yang rela butirnya hilang tersapu matahari,
seperti aku yang tersenyum kala namaku kau sebut dari mulutmu,
ketika kita bertukar canda pada jumpa yang pertama.

Aku pernah tersenyum secara sesederhana itu,
seperti ditembangkan lagu nina-bobo menjelang tidur,
seperti guratan ibu ketika anak perempuannya pulang dari rantau,
seperti aku yang mendapati pesan di sana kamu sedang rindu.

Aku pernah tertawa terbahak secara sesederhana itu,
seperti siswa taman bacaan yag tergelak di atas tumpukan buku,
seperti pipimu yang memerah karena jemariku,
meninggalkan tanda berisikan kenangan yang terpatri di sudut hati.

Aku pernah terbawa percakapan diantara denting waktu secara sesederhana itu,
seperti suara gemercik anak-anak hujan yang berlari-lari sore hari,
seperti senja yang selalu kita harap tak pernah habis,
seperti ketika kepala kita bersentuhan dan memulai pembicaraan tentang hari yang kita lewati.

Aku pernah merasakan hangatmu secara sesederhana itu,
seperti matahari yang mulai merangkak keluar dari peraduan,
seperti perasaan nyaman layaknya anak dalam dekap bundanya,
ketika lenganmu melingkari bagian belakang tubuhku.

Aku pernah merindukanmu secara sesederhana itu,
seperti wajah-wajah ayu penari Jawa menunggu giliran memulai pertunjukan sakral,
seperti pintu kamar yang kubiarkan terus terbuka, 
menunggumu kembali pulang.

Aku pernah menginginkanmu secara sesederhana itu,
seperti aliran peluh ayah demi mewujudkan mimpi sekolah anak-anaknya,
seperti tanganku yang terangkat, jauh sebelum tangan kita menjabat,
berdoa untuk sosok seperti kamu.


 ---


Aku mencintaimu secara sesederhana itu, Tuan..
seperti bocah yang berlari menerbangkan kertas layang-layang, 
seperti dalang membersihkan debu di sela wayang.

Aku menyayangimu secara sesederhana itu, Tuan..
seperti para penulis menggores pena,
seperti syahdu pendongeng mengarang cerita,

Jika tulisan ini terbaca sederhana, mungkin bukan kau orang yang kutuju,
atau rasa itu belum menggenapi seisi relung terdalam kalbumu,
karena hanya cinta, yang sanggup membuat hal sederhana,
tampak lebih bermakna.

Late Post to Mr. Post

Hari Ke-18

Teruntuk kamu @misteeerius,
sosok yang begitu misterius semisterius nama akunmu.

Selamat malam!
Aku terlalu bingung mengawali surat ini, untuk menentukan kata sapaan yang tepat untukmu saja menyita beberapa menit waktuku dalam menulis. Jadi, sebaiknya aku panggil kau 'kak' saja bagaimana? Panggilan yang bersahabat di telinga, kan? Pun terkesan lebih 'akrab', menurutku. Bukan begitu, kak Faris?

Pertama-tama, aku mau meminta maaf kak. Maaf atas keterlambatan suratku sampai ke tanganmu. Terkesan mengabaikan surat bertema hari ini ya, kak? Mungkin. Tapi sebetulnya tidak, percayalah kak... ada yang aku urus dan harus disegerakan hari ini. Sampai larut, aku baru sempat membuka laptop dan menuliskan ini untukmu, semoga kau sempatkan pula untuk membacanya, ya, kak.

Kedua, boleh aku berkawan denganmu lebih dari sekedar pengirim surat dengan tukang posnya? Bukan, ini bukan ajakan berkawan melebihi batas sewajarnya yang baru kenal, hanya saja, untuk lebih mengakrabkan diri, ada baiknya kita saling bertukar sapa di linimasa, kak. Tak perlu sering, cukuplah sesekali. Seperti idola yang membalas mention pengagumnya. Seperti itu.

Ketiga, aku tiba-tiba ingin menanyakan ini, sederhana; apa kau sudah pernah berkunjung ke Solo, kak? Kalau belum, cobalah kemari. Aku ajak kau memutari seisi Solo dengan senang hati, ditemani dengan citycar kesayanganku, Toyota Agya tentunya. Eh, aku lancang tidak tiba-tiba saja menawarimu singgah ke kotaku? Jangan anggap berlebihan ya kak, anggap saja ini ajakan main bersama, atau bahasa kerennya kencan berdua, hehehe.

Mari kak, aku tunggu kedatanganmu di kotaku!

Salam hangat,
Dari aku, yang ingin berterimakasih telah kau sampaikan surat-suratku selama 17 hari ini. Sebagai imbalannya, mari kuajak kau berkeliling kota #NaikAgya! :)

Sunday 16 February 2014

Perihal Meninggakan dan Ditinggalkan

  #latepost
2-3 Januari 2014

Tuan, saya benci ini. Ketika harus meninggalkan atau ditinggalkan. Terkadang takdir terjadi begitu cepat. Tak diduga-duga. Segalanya punya masa tenggang. Termasuk keberadaan kita di suatu tempat. Sementara. Tidak akan selamanya kau tinggal di situ. Nanti, ada saatnya kau mesti pergi. Meninggalkan apa-apa yang sudah terlewati. Masa kecil, sewaktu remaja, perjalanan menuju dewasa, atau menghabiskan sisa-sisa hari tua.

Tuan, bagaimana perasaanmu ketika harus meninggalkan suatu hal yang baru kau mulai? Bagaimana ketika terik matahari itu baru beberapa menit memanasi bumi tapi keretamu tak bisa meninggu untuk non koma nol satu detik? Berat, bukan? Bagaimana bisa kau membawa beban lain di samping pakaian kotormu di dalam tas ransel besar? Tuan, kau percaya tadkir Tuhan, kan? Bagaimana bisa kau menyangkal kehebatanNya lagi ketika kau hanya butuh memori dalam kepalamu untuk membawa semua ketenangan kemanapun kau pergi? Tak butuh ransel, bahkan koper.

Tuan, saya rindu rumah sekali. Tapi tak ingin cepat-cepat pulang. Apa daya, tiket kereta sudah ada di kepalan tangan. Keberadaan saya di sini ditutup oleh keeksotisan Jogja, keramahan masyarakatnya, keriuhan canda tawa, dan kawan-kawan baru yang perasaan kagumnya sama dengan saya.


 Tiket sudah di tangan, beberapa menit sebelum
keberangkatan menuju Jogja


Tiba di Jogja, masih dengan rasa tak percaya


 Kemeriahan Jogja malam hari 

Kawan-kawan yang rasa kagumnya sama dengan saya

Tuan, jika kau pergi ke suatu tempat yang jauh dari rumahmu, maka berjanjilah untuk mengunjunginya lagi lain waktu. Karena jejak langkahmu di sana tak akan terhapus oleh debu.

Ini semua perihal pindah dan singgah. Perihal meninggalkan dan ditinggalkan.



Salam kangen,
Saya dan kawan yang harus segera kembali ke rumah.

Ps:
Teruntuk kawan-kawan baik saya; Upi, Mega, dan Ana. Waktu memang telah melepaskan genggaman tangan kita, tapi kalian tetap yang terbaik. Lalu, kemana kita langkahkah jejak kaki selanjutnya?

Kita Harus Tau Kapan Berhenti


Pagi tadi, seorang kawan lama datang kepadaku. Mengeluhkan kegundahan yang membuat gurat senyum wajahnya memudar. Tentang perihal sederhana; yang sebenarnya sebagian kita pun sering lupa untuk merenungkannya. 

"Kata orang aku harus terus berusaha, lalu kenapa sekarang aku dimintanya pasrah?" 

Kamu harus mampu menerjemahkan kata usaha dan pasrah itu dengan tepat, kataku. Tidak ada pencapaian tanpa sebuah perjuangan. Itulah kehidupan. Itulah yang menjadikan pinta mereka agar kamu terus berusaha itu benar. Jangan takut gagal. Ketika kamu gagal, cobalah lagi. Dan ketika kamu ingin menyerah, berpikirlah bagaimana kalau ternyata yang kamu inginkan, akan teraih jika kamu mencobanya sekali lagi.

"Lalu, kenapa aku dimintanya pasrah?" 

Jangan lupakan satu hal; Tuhan. Bagianmu, akan tetap menjadi bagianmu. BagianNya pun, akan selalu menjadi bagianNya. Berusaha itu kewajiban kita sebagai manusia. Sebagai makhluk bernyawa yang mencari sebuah jawaban atas apa yang kita usahakan. Tapi... teraihnya keinginanmu bukan karena peranmu sendiri. Izinkan Tuhan berperan. 

Usahakan yang terbaik yang kita bisa, selebihnya, biarkan Tuhan mengerjakan yang menjadi bagianNya. 

Bagaimana kalau ternyata Tuhan akan mengabulkan apa yang kita inginkan saat kita ada dititik pasrah? Bagaimana kalau Tuhan akan mengabulkan apa yang kita inginkan saat kita sudah sangat lelah karena kita berusaha selama ini? 

"Lalu, tunggu dulu. Bagaimana caranya aku tahu, bahwa saat aku memilih pasrah justru saat itulah aku harus mencoba lagi? Bukan kah tadi katamu, aku harus berpikir bagaimana kalau ternyata yang aku inginkan, akan teraih jika aku mencobanya sekali lagi?"

Tuhan adalah penggerak hati. Ketika kamu dan kita semua masih berusaha, itu karena Tuhan memang meminta kita untuk masih dan terus berusaha. Saat kita mulai lelah dan akhirnya pasrah, pun karena Tuhan meminta kita untuk mengizinkanNya melakukan yang menjadi bagianNya. Entah kita sadari atau tidak, begitu adanya. 

Iya. Kita harus tau kapan waktunya untuk berhenti.

Menjelang Pagi

Hari Ke-17

Dariku. Untukku.

Pastilah ini menjadi surat paling sederhana dan paling singkat. Mungkin. Sebab aku tak perlu memikirkan apapun untuk menuliskannya; tentang pantas atau tidak, tentang perasaan si penerima, tentang hal-hal lain yang tak lantas kubiarkan tertuang begitu saja.

Surat ini kutulis untuk diriku sendiri. Diriku yang tak juga mampu larut dalam helai-helai mimpi. Telah kuhanyutkan diriku dalam doa-doa tak lantang, serta butir-butir tasbih yang  kian panjang. Telah kujatuhkan kepala di atas bantal-bantal kapas yang sedikit keras. Telah kupejamkan kedua kelopak mata seerat yang kubisa.

Ini adalah saat-saat aku terjaga hingga malam mendekati waktu terakhirnya. Saat menulis surat untuk diriku sendiri, hatiku ialah gemuruh hujan yang tampias di tanah lepas dan aku belum juga berhasil meredamnya. Jangan kalian tanyakan ini surat tentang apa, sebab aku sendiri tak bisa memberikan jawaban. Ini hanyalah surat menjelang pagi. Ini hanya caraku meminta pikiranku rebah secepatnya. Namun agaknya tidak membuahkan hasil.



Senin, 17 Februari. Pukul 23.54.

Peramu Kopi


Di luar hujan lebat. Wangi tanah basah selalu mampu menina-bobokanku lebih awal. Biasanya. Tapi malam ini tak seperti biasanya. Kesadaranku masih terjaga hingga lewat tengah malam. Dini hari tepatnya. Denting jarum jam beradu dengan gemercik tetes anak-anak hujan di luar, dan aku masih hanyut dalam lamunan.

Sesekali kuhirup dalam-dalam aroma kopi yang menguasi molekul udara di kamar. Di mejaku, kuletakkan secangkir kopi yang kuseduh sejak pukul sepuluh. Kubiarkan aromanya beranak pinak menjalari rangan. Aku sengaja menyeduhnya, bukan karena aku ingin tidur terlambat, hanya saja hari ini tak biasanya aku begitu inin menyesap aroma khas kopi paling kuat. Kuakui, aroma kopimu mampu menabur ketenangan dengan hangat. Hanya sebatas itu. Tak lebih. Jadi, jangan berpikir aku merindukanmu akhir ini. Sama sekali tidak.

"Aku begitu menyukai kopi", katamu berulang kali. Hingga terkadang kulempar sedikit canda betapa aku bosan mendengarnya. Meski diam-diam, aku berharap dapat menjadi peramu kopi terbaik untukmu, cukup untukmu. Jangan salah paham dulu.. harapan ini bukan karena aku ingin menjadi satu-satunya peramu kopi terbaik bagimu, ini sekedar keinginan untuk membuktikan kebenaran dari segala filosofi kopi yang kau tuturkan. Pikirku, dengan menjadi peramu kopi terbaik bagimu, artinya kita punya selera yang sama. Artinya, aku dapat menyelami filosofi kopi yang kau yakini kebenarannya. Ya, setidaknya demikian. Tapi sayangnya, aku bukan peramu kopi dan tak pandai meramu kopi.

Maka, kubiarkan saja keinginan ini mengendap serupa ampas kopi di dasar cangkir. Aku tak pandai meramu kopi. Maafkan jika tak juga terbit keinginanku untuk menjadi satu-satunya peramu kopi dalam cangkir pertamamu di setiap pagi. Aku tak pandai meramu kopi. Sungguh. Maafkan aku. Baiklah, mungkin ini surat yang membuatku merasa bersalah. Merasa bersalah pada diriku sendiri dalam surat sebelum ini. Kukatakan bahwa tak akan lagi kutulis satu pun surat untukmu. Tanpa basa-basi, maka baiknya kutamatkan saja suratku pada tanda baca titik setelah kalimat ini.



Dariku. Untukmu.

Saturday 15 February 2014

Surat Pengantar Perpisahan #2


Hari Ke-15

Kepada kamu,
yang mungkin merasa surat ini ditujukan untukmu.

Apa kabar? Sapaan klise. Terasa begitu klise. Padahal sebelumnya, kita cukup bertemu pandang atau saling bersentuh kulit untuk mengetahui masing-masing baik-baik saja. Tapi aku sungguh-sungguh dengan pertanyaan ini. Ada episode lama tak berkabar, berbumbu buang muka, senyum masam, dan mungkin satu-dua desau. Semacam saling menikam.

Manusia makhluk yang aneh, bukan? Selalu merayakan pertemuan tapi mengutuk perpisahan. Mendamba ikatan tapi menyerapahi lepasan. Padahal kita tau, Tuhan menciptakan benda berpasang-pasangan, tidak pernah sendirian. Kita berharap hubungan yang hanya akan terpisah maut, tapi ketika tidak berjalan seperti yang kita inginkan, kita mulai menyumpahi semua hal itu. Kita, waktu, tempat, keadaan, dan Tuhan. Entah apa yang kita mau, lalu, kita berpisah seperti orang yang tidak mau kenal satu sama lain lagi.

Kita sudah hidup dengan kehidupan masing-masing. Dengan jalan yang kita ingini betul. Hidup yang mungkin sempat kita bayangkan bersama, tapi dengan sedikit modifikasi alur; kita berjalan berlawanan arah. Meninggalkanmu pada akhirnya adalah keputusan yang saya syukuri dan saya yakin kamu juga melakukan yang sama. Kita berdua pernah muda dan naif; pernah beranggapan bahwa hidup adalah panggung dengan naskah drama yang kita buat sendiri. Lupa kalau menemukan yang tepat tidak berarti membenci mereka yang pergi, mereka yang bukan.

Bukan, surat ini bukan surat permintaan maaf lagi. Hanya ajakan minum kopi bersama, dengan kopi yang nampaknya takkan pernah terseduh dalam cangkirnya.

Friday 14 February 2014

Kopi Sabtu Pagi

 Hari Ke-15




Sabtu
Pagi
Langit mengetuk daun pintu dan jendela
Mengetuk-ngetuk tanpa jeda
Langit mengkerut dengan tubuh-tubuh mendung yang menggelayut

Sabtu
Pagi
Di atas meja terseduh kopi yang hampir basi. Basi. Sudah mengendap berhari-hari.

Sabtu
Pagi
Aku menelan udara yang kental oleh namamu. Bulat-bulat. Aku menelan mereka bulat-bulat.
Hingga sepi terseduh dalam secangkir kopi.
Aku tak suka kopi. Pahit. Pekat. Seperti rindu yang laknat. Seperti drama yang berkhianat.

Kopi
Sabtu
Pagi

Mendengar dengan Bijaksana


Mereka memintaku untuk tidak mendengar apa yang orang katakan. Namun saat ini, mereka memintaku untuk tidak menuruti pikiranku sendiri. Dengarkan orang lain, katanya. 

Hidup akan selalu membuat kita serba salah, kalau kita tidak melihat apa yang dibawanya dengan lebih jauh dan bijaksana. 

Tuhan tidak menciptakan kita seorang diri di dunia ini karena sebuah alasan. Salah satunya adalah karena kita membutuhkan orang lain. Mendengarkan orang lain, itu perlu. Lalu, kenapa lewat orang-orang itu, hidup juga meminta kita untuk mengabaikan mereka?

Lihatlah lebih jauh dan bijaksanalah. Orang yang seperti apa yang harus kita dengarkan dan seperti apa yang harus kita abaikan, kita harus tahu persis akan itu.

Dengarkan mereka! Siapa?
Mereka yang hebat dalam perjuangannya. Mereka yang ceritanya dapat memotivasi. Mereka yang dengan ketulusannya, memberi arahan agar langkah tak kehilangan arah. Mereka yang berpengalaman. Mereka yang mengerti. Mereka yang memahami. 

Kenapa mereka harus kita dengarkan? Karena kita sadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, apa yang mereka sampaikan akan membawa energi positif dalam hidup kita. Entah menjadi motivasi, bahan pertimbangan ataupun pedoman.

Jangan dengarkan mereka! Siapa?
Mereka yang hanya menyalahkan langkah kita tanpa mau memberikan solusi. Mereka yang hanya berkomentar tanpa tahu alasan. Mereka yang memaksa kita mengikuti pendapatnya seakan dia lupa bahwa kitalah sang pengambil keputusan. Mereka yang terus mencaci seakan mereka berhak mencampuri. 

Kenapa kita tidak perlu mendengarkan mereka? Karena mereka memang tidak ada hubungannya dengan apa yang kita lakukan. Berhasil tidaknya, teraih atau tidaknya, tidak akan mempengaruhi hidup mereka pula. Apa yang mereka katakan hanyalah bukti bahwa dalam hidup ini, setiap orang memang mempunyai hak untuk berkomentar atas apa yang kita lakukan. 

Tidak semua yang tersampaikan, harus didengarkan.

Empat Belas Februari

Hari Ke-14

Empat belas Februari, dua ribu empat belas.

Tengah malam dengan keras suara hujan tampias di teras. Setangkup roti bakar mulai mengering di atas meja, membaur dengan udara malam yang mendingin. Ada doa yang diam-diam masih kusenandungkan dalam kidung perbincanganku dengan Tuhan. Diam-diam, aku masih menyebut sebuah nama yang terlanjur terpaut di dalam sini. Di hati.

Selamat datang, empat belas Februari dua ribu empat belas.
Rasanya terlalu buru-buru mengucapkan selamat malam. Bahkan kantukku tak juga jatuh ketika anak-anak hujan mulai berlari. Empat belas Februari, ijinkan aku menitipkan sepucuk surat untuk ia yang tak lagi ingin ku sebut namanya. Kepada nama yang sempat menarikku perlahan untuk mendayung ke sebuah berantah. Kepada nama yang kunamai pemeran utama.

Empat belas Februari, hari ini ada bahagia yang dirayakan. Aku paham, kau dan semesta sudah pasti berkontemplasi untuk menuliskan takdir terbaik baginya dari Tuhan. Betul, tidak? Maka, ijinkan aku mengaminkan segala kebaikan dan kebahagiaan dalam sekerumun doa yang disenandungkan.

Empat belas Februari, di tahun ini tak ada lagi lembaran surat cinta yang kutorehkan dengan tinta seperti tahun-tahun sebelumnya. Kuputuskan untuk tak lagi menuliskannya, dan memang begitu seharusnya. Dedaun romansa meranggas semaunya, dedahan rindu telah rebah sekenanya. Kemarau datang sesukanya padahal penghujan belum juga reda.

Hari ini, kubiarkan debarku berlari kecil pada puisi-puisi darinya yang mulai berdebu; menyibakkannya satu persatu. Dan aku, membiarkan ingatan berkunjung sebentar ke belakang. Sebentar saja, cukup sebentar. Tak akan kubiarkan ia berlama-lama di sana.

Empat belas Februari, kusudahi surat sederhana ini cukup sampai di sini. Tolong sampaikan kepada pemilik hatimu, tak ada maksud apapun dalam suratku. Tak ada niat melubangi hati siapapun, cukuplah degup milikku yang luruh dalam perih yang semakin berbuih. Katakan pula padanya, agar ia menjaga sebaik mungkin seseorang yang menggantungkan binar bahagia pada dirinya. Kau tak perlu tau, ia telah paham maksudku.


Wednesday 12 February 2014

Pemeran Utama

Hari Ke-13

Untukmu,
pemicu detak jantung ini. 

Ini surat perdana untukmu, dan sejujurnya aku tak ingin lagi menuliskan surat ke dua, ke tiga, dan selanjutnya. Sebab memang tak ingin. Bodohnya, aku memutuskan menulis surat ini dengan bahasa seadanya. Sengaja? Mungkin. Karena memang aku benar-benar tak ingin kau membaca surat ini. Lalu, untuk apa kulis? Entahlah. Mungkin aku hanya ingin menuliskan hal-hal yang tak mampu kuperkarakan, pun kuutarakan.

Pemeran utama, ku sebut kau demikian dalam surat ini. Sebutan yang begitu saja terlintas dalam simpul pikiiran; melintasi isi kepalaku tatkala suara Raisa mengalun merdu mengisi seluruh ruangan kamar. Lagu yang liriknya berujar tentang sesal seorang perempuan yang telah menyakiti hati seseorang, yang kemudian menginginkannya kembali lagi. Ah, mengena sekali. Aku yang begitu suka menikmati kata-kata, terhanyut dalam senandung dari Raisa itu.

Kamu lelaki yang ku namai pemeran utama hati. Berat hati sebenarnya menyebutmu demikian. Sebab menurutku, sebutan itu terlalu bagus untukmu yang cukup menyebalkan. Kau tau tidak? Tingkahmu kerap kali membuatku kesal. Meski tak kupungkiri, aku sedikit tersentuh saat ada hal-hal manis yang sesekali (mungkin tanpa sadar) kau lakukan, aku betah berlama-lama bercincang denganmu yang pandai mengembalikan moodku untuk bercerita; kau lelaki cerdas dan berwawasan luas. Aku merasa ringan saat kita berbagi gurau, juga menikmati tingkah dan kalimat-kalimatmu yang jenaka. 

Tapi sayangnya, hatiku tak mudah terjatuh, Tuan. Jangan tanya apakah aku merasa nyaman ketika bersamamu. Soal ini, aku tak mampu berdalih. Cari jawabannya di kedua mataku yang berbinar dalam putaran waktu yang kita habiskan bersama. Cari jawabannya dalam suaraku ketika kau sisihkan waktu untuk menghubungiku. Meski kerap kali terlihat kesal, namun terdengar cukup ceria, bukan? Tapi sayangnya, sekali lagi aku tegaskan, hatiku tak mudah jatuh, Tuan. Hati ini pernah patah, masih melebam dan belum pulih benar. Aku masih ingin merawatnya baik-baik. Sebaik yang aku mampu, selembut yang aku bisa.

Maka, biarlah ini mengalir begini. Sebab aku memang belum ingin hati ini terjatuh lagi untuk kesekian kali. 



Ps:
Lagi, maaf sudah lancang meminjam judul lagumu, mbak Raisa. I adore you. :)

Tuesday 11 February 2014

Hanya Isyarat

Hari Ke-12

Teruntuk kamu,
yang hanya dapat aku miliki sebatas kata-katanya saja.

Pernah beberapa kali, bahkan sering, kau menceritakan tentangnya kepadaku. Pada setiap balasan Messanger yang kau kirim, dapat ku bayangkan, kamu tengah berbinar mengingatnya. Iya, kau mendadak antusias dalam percakapan yang kita buat.

Pernah beberapa kali, dan ya, lagi-lagi sering, seolah kulihat bola matamu menerawang ke naik, seakan dalam kepalamu sedang berputar lagi "film" ketika ia sedang bersamamu. Iya, lagi-lagi dapat ku bayangkan bahwa kau berbinar seperti itu.

Pernah beberapa kali, aku mendapati sepotong kalimat yang nampaknya benar-benar kau tulis sepenuh hati. Dan kamu tau, saat itu, kamu sedang membicarakan tentangnya. Ku beranikan diri bertanya; namun sepertinya salah arah, binar itu memang terlukis lagi-lagi karenanya.

Kamu tau tidak paradoks apa yang terjadi? Aku benci membacanya; membaca semua tulisanmu, tulisan tentang jejak rekam yang tlah kau buat bersamanya. Aku benci melihat binar bahagiamu, karena tetap saja, sumber itu semua datangnya bukan dari aku.


---


Buat kamu, sengaja ku kirimi surat ini untukmu; untuk mengutarakan perihal apa sebenarnya terjadi. Bahwa hidupku kini sampai pada satu bagian, aku telah jatuh cinta. Namun orang itu sulit untuk aku gapai. Orang itu hanya dapat aku gapai sebatas kata-katanya saja. Seseorang yang sekelebat hadir bagai bintang jatuh, yang kemudian lenyap keluar dari bingkai masa.

Sebelum jauh tangan ini sempat mengejar, aku tahu diri untuk berhenti. Buat kamu, seseorang yang hanya akan aku kirimi isyarat; melalui riuh canda, gelak tawa, dan panjangnya bincang yang tiap hari kita buat. Aku bertekuk kalah, aku bukan orangnya.