Saturday 22 February 2014

Kau Harus Bahagia

Hari Ke-22

Assalamu'alaikum, Tuan.
Tolong sampaikan pula salamku untuk kekasihmu yang jelita itu.

Aku rasa tak perlu mengawali surat ini dengan menanyakan kabarmu, sudah pasti kau sedang dikelilingi binar paling bahagia, ya. Entah ini surat ke berapa yang kusebut surat terakhir untukmu; nyatanya selalu gagal. Tapi semoga surat ini menjadi surat yang benar-benar terakhir. 

Bukan tanpa alasan aku menulisnya, kupupuk keberanianku perlahan dan berkali-kali, sebab tak mungkin lagi kusampaikan secara lisan atau kutuliskan dalam surat-surat kecil yang dulu kerapkali kukirimkan. Kutulis surat ini dengan haru dan rindu yang meluap. Bahagia? Entahlah. Hanya Allah yang tau aku turut bahagia atau harus marah. Namun pastinya aku lega luar biasa melihatmu bersanding dengan perempuan yang (Insya Allah) tepat. Pun rupawan sesuai pilihan Tuhan.

Lebih dari ratusan hari yang kita habiskan bukanlah hal sederhana yang mampu dengan mudah kuletakkan. Sekarang, aku hanya menyimpannya baik-baik dalam benam paling dalam. Melipatnya dengan rapi dalam ruang dada sebelah kiri. Aku bukanlah perempuan baik yang terlahir nyaris sempurna. Bukan pula seorang anak yang terlahir dalam keluarga yang utuh bahagianya. Aku tumbuh tanpa empati. Waktu telah menyampaikan segalanya padamu, bukan? Sebab dari awal kau mendekat, kubiarkan semesta membuka semuanya padamu dan aku menjadi apa adanya diriku seperti yang di hadapanmu, dulu. Kusyukuri jalanNya yang menuntun kita beriringan dalam proses semesta.

Terima kasih telah membawaku larut dalam hangat hubungan penuh cinta kasih; yang pernah membuatku bahagia tak kepalang, alasanku tersenyum, tertawa, dan menebar hamdalah tak berkesudahan. Terima kasih atas hidup yang sempat kau bagi dan bersedia sepenuh hati menjadi tempat berbagi. Terima kasih telah sempat memilih untuk tetap tinggal dan meninggalkan mereka yang sempat datang -berdiri di antara kita. Terima kasih telah memberiku banyak hal tak terduga. Kau tau? Darimulah aku mengenal sebaik-baiknya bahagia dan luka. Namun dalam surat ini, aku sengaja tak ingin menuliskan luka. Biarlah segala perih dalam hati masing-masing melebam lalu sembuh dengan sendirinya.

Aku percaya, perpisahan kita dan kebersamaanmu dengannya bukan suatu kebetulan. Ini semua bagian dari kehendakNya, bukan? Keadaan ini salah satu hal besar yang mengajariku bagaimana melapangkan hati dan memupuk ketenangan, meski sukar. Entahlah, terkadang seperti ada kebahagiaan kecil yang tanpa sadar kusesap lamat-lamat; ketika aku menyerahkan segala arah hati hanya kepada pemilikNya, ketika berharap hanya Allah lah hulu dan muara segala rasa bergerak.

Sejak dulu permintaanku pada Tuhan sederhana saja, dengan siapaun engkau nantinya, aku hanya ingin kau bahagia seutuhnya. Teruslah berbahagia dalam warna nan rupa-rupa. Tetaplah berbahagia sebab aku takkan merusak segala yang telah menjadi kehendakNya. Berbahagialah.. dan berjanji untuk terus berbahagia.

No comments:

Post a Comment