Wednesday 5 February 2014

Curhat Buat Sahabat

Hari Ke-5

Teruntuk dia,
yang namanya tak perlu aku sebutkan.


Mungkin kurang tepat kalau ini ku sebut surat cinta. Surat ini tentang kisah seorang kawan lama yang beberapa tempo lalu mengadu tentang kegundahannya kepadaku, tentang seseoarang yang dia kasihi. Mungkin lebih tepat ku sebut ini surat curahan perasaan. Begitu saja.

Dia mengetuk pintu kos ku, Sabtu malam lalu. Dengan ucapan pelan dan terbata-bata ia meminta ijin kepadaku untuk masuk. Sorot mata yang memerah dan sedikit bengkak itu menandakan bahwa ia baru saja menangis, tapi aku tak sampai hati menanyakan sebabnya. Lalu, aku gandeng dia menuju arah kamar tidur. 


---


Kamu kembali meneteskan air mata, seraya bersandar di bahuku. Aku tercengang; bingung dengan kedatanganmu yang tiba-tiba saja dengan muka masam dan sendu. Tak seperti biasanya, senyum manis dan wajah ceriamu malam itu hilang karena apa dan direnggut oleh siapa. 

Dengan suara sedikit terisak, kamu mulai menceritakan sebab apa kamu datang kemari. Dan benar saja, tebakanku salah satunya terjawab dengan benar. Semua ini ulah pacarmu.


---


"Kita nggak pernah tau apa yang terjadi ke depan, kan?"

"Iya, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya ngasih aku ketidakjelasan terus seperti ini."
"Aku pasti ninggalin dia, pasti. Kamu bersabar aja ya, sayang."
"Kapan? Dan harus sesabar apalagi?"
"Ya... nanti..."

Kepalaku terasa semakin berat. Ku pandangi mata lelaki yang sedang duduk di depanku ini lekat-lekat. Lelaki kekasih orang. Hampir setahun ini dia berselingkuh denganku. Yang pada akhirnya, aku menyerah dan minta diutamakan. Dengan sisa-sisa tenangaku, aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang semakin mengering karena tangisku yang tak berjeda dari sejam yang lalu. 

"Aku rasa kita sudah seharusnya selesai. Kalau saat nanti kamu meninggalkan dia demi bersamaku, bukan tidak mungkin suatu waktu kamu juga akan meninggalkanku demi bersama yang lain."

Aku berdiri. Memutuskan pergi meninggalkan dia yang masih duduk termenung tak percaya dengan apa yang baru saja ku putuskan. Samar-samar aku dengar suara dia memanggil namaku berulang-ulang. Tapi keputusanku sudah bulat, kita memang tidak semestinya bahagia dengan cinta yang salah.


----


Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Ucapakanku tercekat. Aku peluk erat sahabatku ini. Aku perempuan, aku bisa merasakan bagaimana pedih yang ia pendam selama setahun belakangan. 

No comments:

Post a Comment